Sukabumi |5/2/22) Bencana versus Pembangunan harus berjalan simultan artinya Pembangunan yang berlangsung harus berpotensi mampu mengurangi kerentanan dan pengelolaan Bencana yang dilakukan harus berpotensi memberi peluang pembangunan. Bukan sebaliknya pembangunan berpotensi memunculkan kerentanan baru dan bencana berpotensi menghilangkan peluang pembangunan.
Setiap upaya pembangunan pengurangan risiko bencana yang dikeluarkan biayanya nantinya akan mampu memberikan nilai investasi tujuh rupiah untuk mengurangi nilai kerugian bilamana bencana melanda. Akibat bencana selama dasawarsa negara dan rakyat telah menderita triliunan rupiah dan menghancurkan sektor kehidupan sarana dan prasarana yang memunculkan orang miskin baru.
Pernyataan demikian dipertegas kembali BPBD kota Sukabumi pada Seminar Tanggap Bencana masa covid 19 pada acara Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru Sekolah Tinggi Hukum Pasundan Kota Sukabumi Sabtu (4/2/22).
Dihadapan ratusan calon calon ahli hukum tersebut BPBD menandaskan kendati kota Sukabumi yang bermisikan “Renyah” di posisi 23 dari 27 kabupaten kota Jawa Barat berisiko bencana sedang, hal berbeda dengan tetangganya kabupaten Sukabumi berisiko tinggi, bukan bermakna tidak pernah mengalami peristiwa kejadian yang mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian, korban jiwa kerusakan lingkungan hingga dampak psikologis. Bencana sifatnya radius bukan administratif uniknya bisa terjadi kapan saja dan dimana saja terlebih peristiwa gempa sulit diketahui kemunculannya.
Karenanya BPBD mengajak elemen akademis untuk aktiv mengelola risiko berbasis inovasi teknologi yang mudah dipahami masyarakat seperti mendalami peta rawan bencana berikut jalur evakuasi serta membangun sesuai kaedah yang tepat serta mengisi tata ruang yang tersedia harus ramah bencana . Single Hazard Gempa Bumi di wilayah Sukabumi termasuk risiko tinggi juga longsor, dan cuaca ektrem serta kekeringan.
Pengalaman gempa besar merusak terjadi akibat pergeseran Sesar Cimandiri yang dicatat Pusat Gempa Nasional (Pusgen, 2017) diantaranya gempa Pelabuhan Ratu (1900), gempa Cibadak (1973), gempa Gandasoli (1982), gempa Padalarang (1910), gempa Tanjungsari tahun 1972, gempa Congeang (1948), dan gempa Sukabumi (2001) . Berdasarkan kejadian gempa tersebut, maka Kota Sukabumi memiliki potensi terhadap ancaman tingkat potensi bencana gempa bumi yang sedang ke tinggi. Tingkat kerentanan ancaman bencana gempa bumi berada pada kelas tinggi dengan skor rata – rata memiliki nilai 2,2 – 2,6
Siklus penanggulangan bencana memiliki karakteristik yang berbeda antara satu sama lainnya. Di prabencana masyarakat umumnya abai dengan pencegahan kesiapsiagaan dan mitigasi sehinga mudahnya mengekploitasi alam dan lingkungan tanpa ada upaya peningkatan kapasitas satu sisi sementara sisi kerentanan dibiarkan. Saat bencana melanda fakta aktual mencuat stres, panik dan bingung mau berbuat apa, kewenangan komando tak jelas, semua ingin membantu dengan caranya sendiri, respon terkesan lambat dan distribusi bantuan tidak merata, saling menyalahkan antara satu sama lain, chaos pun bermunculan. Demikian juga di masa pascabencans masa pemulihan dan rekonstruksi memerlukan waktu yang tidak sebentar. Bencana sesaat menyisakan trauma dan kerusakan yang berkepanjangan.
Hingga saat ini BPBD telah menghimpun catatan indikasi bencana terjadi di Kota Sukabumi mulai dari 2013 – 2021. Tercatat rata rata kejadian tiap tahunnya 172 kali yang kecendrungan indikasi meningkat. Selama sembilan tahun terhimpun 1553 kejadian terjadi mulai kebakaran 250 kali, banjir 198 kali, tanah longsor 443 kali, puting beliung 120, gempa 103 dan cuaca ektrem 442. Sebaranya ada kecamatan Cikole (296) kali, Cibeureum (160) Citamiang (233) Gunung Puyuh (240) Warudoyong, (209) Lembursitu (175) Baris (139) dan terasa di 7 kecamatan (103) kali dan 15 kelurahan Tangguh Bencana yang ditetapkan.
Tanggap bencana menjadi hal yang penting dibangun. Pada saat darurat kejadian orang terselamatkan lebih banyak karena faktor diri sendiri, lalu keluarga dan tetangga/teman. Hansin Earthquake (1995) menemukan, korban yang dapat selamat dalam durasi “Golden Time” disebabkan oleh : (1) Kesiapsiagaan diri sendiri 35%, (2) dukungan anggota keluarga 31,9%, (3) dukungan teman/tetangga 28,1%, (4) dukungan orang disekitarnya 2,60%, (5) dukungan Tim Sar 1,70% Dan (6) Lain-lain 0,90%. Kesiapsiagaan bencana mesti dimulai dibangun dari diri sendiri, BPBD mengakhiri penjelasannya
#PRB
#KRB